Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan
suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus
belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat
keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang
dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari
ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal.
Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang
menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih
bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri,
pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti
membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan
keinginannya dalam batas norma-norma yang diperkenankan oleh agama dan budaya
setempat".
Dalam pencarian identitas diri, remaja
cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis
orang-tuanya.
Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal
ini dikemukakan
Erikson (dalam
Hurlock,1992) yang menamakan proses tersebut sebagai “proses mencari identitas
ego”, atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui
peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping itu ingin tahu tentang dirinya sendiri.
Proses mencapai kemandirian seorang remaja
akan diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman
sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya,
remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri,
menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari
keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya.
Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar
untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan
remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman
sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya
ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan
dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya.
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri
sering kali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh masih
adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain.
Dalam contoh yang disebutkan di atas, remaja mengalami dilema yang
sangat besar antara mengikuti kehendak orang tua atau mengikuti keinginannya sendiri.
Jika ia mengikuti kehendak orang tua maka dari segi ekonomi (biaya sekolah)
remaja akan terjamin karena orangtua pasti akan membantu sepenuhnya, sebaliknya
jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua bisa jadi orangtuanya tidak mau
membiayai sekolahnya. Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan
yang ambivalensi[1] dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik
pada diri remaja sendiri.
Konflik ini akan mempengaruhi remaja dalam
usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian
diri terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang
remaja menjadi frustrasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orang-tuanya atau orang lain di sekitarnya. Frustrasi
dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang
tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain dan dapat membahayakan
dirinya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan
remaja tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan
kehidupan psikologisnya. Oleh karena itu, pemahaman orangtua terhadap kebutuhan
psikologis remaja untuk mandiri sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan titik
tengah penyelesaian konflik-konflik psikologis yang dihadapi remaja.
[1] Perasaan tidak sadar yang saling
bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang
sama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar